Dimulai dari kejadian pesawat Air Asia QZ 8501 dari Surabaya menuju Singapura pada tanggal 28 Desember 2015. Semua sontak kaget dan mungkin ada beberapa yang langsung teringat pada kejadian 1 Januari 2007 lalu dimana pesawat naas Adam Air hilang juga. Kementerian Perhubungan khususnya Dirjen Perhubungan Udara kembali lagi disorot ada apa gerangan. Penyelidikan, penyidikan, operasi besar-besaran langsung dilakukan Kementerian Perhubungan yang dikomandoi Ignasius Jonan selaku Menteri Perhubungan. Akhirnya keputusan-keputusan yang dibuat terkesan tergesa-gesa. Dan yang paling disorot adalah tidak ada lagi tiket murah, Hal ini disampaikan oleh Staf Khusus Menteri Perhubungan Hadi M. Djuraid saaat jumpa pers dengan para wartawan. Beliau mengatakan bahwa,
"Sebelumnya batas bawah masih 30%, dan ada klausul yang menyebut maskapai bisa mengajukan pemohonan tetapkan tarif di luar tarif batas bawah tersebut. Ada kemungkinan bisa menetapkan tarif di bawah 30%. Sekarang dengan keputusan baru nggak ada lagi. Ada patokan 40%, nggak ada lagi pengajuan izin harga tiket di bawah 40%." Dirjen Perhubungan Udara, Menteri Perhubungan dan beserta jajarannya beranggapan bahwa tiket murah mempunyai andil yang besar terhadap keselamatan penerbangan, di samping itu tiket yang sangat murah dianggap tidak masuk akal bagi Menteri Perhubungan. Sebagaimana yang di sampaikan Kepala Pusat Komunikasi Kemenhub J.A. Barata menjelaskan besaran tarif batas atas dan bawah berbeda-beda untuk setiap rute. Alasannya ialah perhitungan komponen biaya hingga keuntungan maskapai. "Itu ada biaya fuel, suku cadang, nilai tukar, dan biaya lain. Tentu ditambah profit lah," kata Barata.
Itu versi pemerintah. Sekarang kita beralih kepada para pengamat.
Pengamat pariwisata Sapta Nirwandar memiliki pendapat lain. Pemerintah harus mengakui bahwa maskapai berbiaya murah terbukti mampu mendongkrak kunjungan wisatawan mancanegara ke tanah air. Menurut dia, LCC bukan sesuatu yang haram karena bisnis maskapai sudah memiliki standar keselamatan yang tinggi. ’’Keselamatan itu nomor satu. Tapi, maskapai bebas melakukan efisiensi agar bisa menawarkan tiket murah,’’ katanya.
Dia berpendapat, hal yang diperlukan saat ini sejatinya adalah pengawasan yang lebih ketat, termasuk upaya penegakan hukum terhadap segala aturan pada sektor penerbangan. Sapta menegaskan, pada dasarnya tidak ada korelasi langsung antara harga tiket murah dan jaminan keselamatan penumpang.
’’Tiket murah itu lebih pada efisiensi. Misalnya, maskapai LCC itu memberikan pilihan untuk fasilitas seperti bagasi yang minim. Jika ingin lebih, ada tambahan biaya. Juga, tanpa makanan dan tidak ada pilihan tempat duduk. Jadi, itulah yang membuat harga tiket LCC murah. Namun, keselamatan adalah hal lain. Ada standar tersendiri yang harus dipatuhi,’’ jelasnya.
Karena itu, dia meminta pemerintah meningkatkan fungsi pengawasan dan law enforcement pada sektor penerbangan di tanah air, tidak malah serta-merta menghapus tiket pesawat murah.
Pengamat
Kebijakan Publik, Agus Pambagyo menyayangkan kebijakan tersebut.
Menurutnya, tak hanya maskapai yang menerapkan LCC yang akan kehilanggan
pasar, namun masyarakat menengah ke bawah juga kena imbasnya.
"Itu kan, masyarakat menengah ke bawah
nggak bisa terbang lagi dengan tiket murah. Ini bukan hanya merebut
pasar maskapai LCC saja, tapi masyarakat juga, yang selama ini bisa beli
tiket murah," sebut Agus dalam diskusi 'Wajah Penerbangan Kita' di
Cikini, Jakarta, Sabtu (10/1).
Agus menilai, penghapusan LCC tidak terkait urusan keselamatan penerbangan.
"LCC nggak ada hubungannya dengan
safety. Soal keselamatan itu sudah harus ketentuan utama untuk maskapai
dan wajib. Jadi bukan karena tiket murah, keselamatan tidak dipikirkan
maskapai," beber dia.
Terlebih di tahun ini dunia penerbangan
bakal menghadapi Asean Open Sky 2015. Di mana semua penerbangan bebas
bersaing. "Ingat bahwa kita akan Open Sky 2015. Semua maskapai di luar
negeri melek semua soal LCC. Ini juga harus kita pertimbangkan,"
paparnya.
Hal serupa juga dikatakan oleh Pengamat
Penerbangan, Samudra Sukardi. Di mana keselamatan bukan dilihat dari
harga tiket murah yang ditawarkan sebuah maskapai. "Nggak ada
hubungannya, safety itu hal utama," timpalnya.
"Regulator departemen perhubungan itu nggak usah atur mengenai bisnisnya. Itu bukan domain perhubungan. Bisnisnya itu domain airline dia mau jual berapa, marketing gimmic (strategi pemasaran)," ujar Sukardi di kawasan Cikini, Jakarta, Sabtu (10/1/2015).
LCC tersebut, beber Sukardi, diperoleh dari biaya-biaya pesawat yang sebenarnya boleh dikurangi. Dalam artian, penerapan LCC tidak mengganggu atau mengurangi biaya-biaya yang memang tidak boleh ditiadakan. Lagipula, maintenance(biaya perawatan) pesawat dan pengeluarannya sudah maskapai atur namanya juga strategi pemasaran dalam bisnis penerbangan.
Misalnya saja maskapai mengurangi servis kepada konsumennya, penurunan standar seragam pramugari, atau tidak memberikan makan kepada konsumen selama penerbangan.
"Kayak hotel budget-lah. Nggak dikasi handuk, nggak dikasi odol. Tapi bayarnya lebih rendah dari biasa. Kamar dan tempat tidurnya kan dapat juga," ungkap Sukardi.
Promo lain, lanjut Sukardi, adalah penetaran aturan yang berbeda dari tiket biasanya. Misalnya, tiket murah tidak boleh dikembalikan apabila tidak jadi terbang atau dijual hanya dua kursi saja.
Publik pun ada beberapa yang pro, ada pula yang kontra. Seperti salah satu penumpang bernama Irnovyahya Haniffatujuan Surabaya - Manado menggunakan maskapai Lion Air. Dia berkata, "Sebelum pemerintah menetapkan tarif baru ini, saya masih bisa mendapatkan tiket Manado - Surabaya atau sebaliknya sekitar 680-700'an dan saat itu memang masih terjangkau dan masyarakat menengah ke bawah masih bisa berangkat dengan pesawat. Tapi, sejak kejadian Air Asia lalu, pemerintah operasi besar-besaran dan akhirnya menaikkan tarif ya jelas saya merasa berat karena saya pikir banyak sekali masyarakat yang membeli tiket LCC lagipula keselamatannya juga terjamin kok, hanya saja pelayanannya selama perjalanan yang dikurangi. Dengan kejadian seperti ini, mana sanggup masyarakat golongan bawah menikmati perjalanan dengan pesawat." Haniffa menambahkan, "Di samping itu, kesenjangan sosial kembali terjadi dan akhirnya hanya orang-orang yang mampu saja yang bisa naik pesawat, sedangkan orang pas"an merasa berat. Hanya karena kasus Air Asia, pemerintah langsung buat keputusan yang saya lihat memang tergesa-gesa"
Lain pula halnya dengan Okta seorang wirausaha, yang beranggapan bahwa tidak masalah pemerintah naikkan tarif pesawat. Berikut kutipan singkat pembicaraan dengan Okta, "Buat saya sih, ya ga masalah tarif tiket naik ya asalkan memang keselamatan penerbangan ditingkatkan juga karena saya pikir mau tiket mahal, tiket murah gak masalah dan okok aja."
So, semoga pemerintah mencabut, mengkaji, dan memikirkan kembali keputusan tentang tarif tiket ini.
0 komentar:
Posting Komentar